Kabar Terkini

Seberapa Pentingkah Notasi Musik?


~ Menanggapi status tokoh musik kita di fb

Pertanyaan akan seberapa pentingnya notasi musik memang adalah sebuah pertanyaan yang seringkali jadi suatu hal yang mendasar, agak basi namun seakan selalu relevan. Terlebih apabila menyoal pentingnya notasi musik dalam dunia pendidikan kita.

Jujur saja, memang harus diakui bahwa pendidikan musik di Indonesia seringkali tidak terarah, sebagaimana nilai budaya yang ingin kita standarisasikan. Dengan kekayaan budaya dan juga musik lokal ataupun etnik yang mengakar dan berbobot, seringkali kita sebagai bangsa kesulitan untuk menentukan arah pendidikan musik kita.

Akankah pendidikan musik kita harus berorientasi pada apresiasi seni ataukah berorientasi pada proses kreatif seni? Atau akankah pendidikan musik kita harus mengacu pada standar musik barat ataukah mengacu pada nilai-nilai kekayaan musik yang diaku sebagai musik Indonesia atau malah pada musik folklore lokal? Kesemuanya ini masih abu-abu dan saru.

Di satu sisi untuk membebaskan pendidikan musik sesuai dengan nilai lokal adalah suatu bentuk penghargaan pada nilai-nilai seni lokal, karena tidak bijak juga apabila siswa di Gorontalo yang hidup di Gorontalo dipaksa untuk belajar musik dari wilayah Banten yang tidak tentu relevan dengan hidup siswa tersebut. Yang ingin dikejar adalah pembentukan materi pendidikan seni musik haruslah dekat dengan kehidupan anak didik sehingga memudahkan mereka untuk menangkap materi yang disampaikan. Ya, banyak tahu adalah satu hal penting, tapi relevansi tetap harus dijaga dalam pendidikan.

Di sisi lain, pembebasan seperti ini di tangan mereka yang tidak paham akan nilai budaya dan seni lokal dalam persepsinya dalam dunia pendidikan adalah sebuah penghancuran pendidikan itu sendiri. Pendidikan musik jadi seakan tidak berstandar dan tidak berarah. Sebuah masalah yang sebenarnya menjadi akut karena kualitas pendidik musik di tanah air jarang menjadi fokus. Wong, pelajarannya pun tidak tentu dianggap sebagai bagian yang integral untuk membentuk pribadi seseorang dalam pendidikan yang holistik.

Begitu halnya jika kita melihat pentingnya notasi musik. Notasi musik sebagai sebuah produk barat bisa jadi adalah sebuah penemuan penting yang menentukan perkembangan sejarah musik barat selama lebih dari satu millenium. Dan sebagaimana Barat mempengaruhi banyak pergerakan di dunia, demikian juga notasi juga menjadi semakin penting di banyak negara, termasuk di Indonesia yang sebenarnya besar dalam tradisi musik lisan yang diturunkan dari mulut ke mulut, dari guru ke santri, selama ratusan tahun. Dan dalam konteks tersebut, apakah musik Indonesia kalah hebat dan kalah kaya? Tanpa berembel-embel nasionalisme sempit, banyak tokoh musik dunia mengatakan musik nusantara luar biasa kaya dan berkualitas.

Nyatanya di masa kini pun notasi barat (balok) yang kita kenalpun mengalami keterbatasan untuk diaplikasikan dalam ruang lingkup musik seni yang terus berkembang. Notasi balok yang kita kenal banyak berhenti pada musik diatonis (do-re-mi hingga si) dan musik kromatis (do-di-re-ri-mi hingga si) yang kita kenal. Musik yang berkembang di luar pakem nada kromatis yang berkembang di Jerman di paruh kedua abad ke-20 sulit sekali direpresentasikan dalam not balok standar. Mikrotonalisme, musik elektronik, musik komputer adalah sedikit dari musik yang sulit digarap dengan notasi balok konvensional. Banyak dari komponis akhirnya terpaksa untuk membuat sistem pencatatan musik tersendiri untuk bisa mewakili musik mereka. Pentatonik nusantara pun seringkali tanpa bertanggung jawab dipaksa-paksa masuk dalam dunia diatonis barat, sebuah bentuk pemiskinan dari kekayaan tonalitas yang kita miliki.

Ya, notasi seperti pada kata “note” adalah mencatat. Inilah awal tradisi mensejarahkan musik di barat, sebuah konvensi untuk menstandarkan musik. Di satu sisi ya, notasi barat dengan segala kelebihannya dan kekurangannya adalah sebuah bentuk standar yang diakui di seluruh dunia. Sebagaimana bahasa Inggris, adalah baik apabila siswa di sekolah bisa diajarkan berbahasa Inggris dengan baik sehingga mampu berkomunikasi dengan rekan-rekan dari berbagai negara. Demikian juga notasi musik, adalah baik apabila siswa di sekolah diajarkan secara sistematik lingua franca dalam tradisi musik tertulis. Kemampuan mereka untuk mampu berkomunikasi dengan cara ini adalah penting untuk mereka yang ingin merambah ke dunia musik yang lebih luas, terutama apabila ingin bereksplorasi dalam tradisi musik seni diatonis yang dikembangkan sejak semula oleh Guido d’Arrezo dan pengembangan musik seni kromatis.

Di sisi lain apakah kealpaan dunia pendidikan seni kita untuk mengajarkan sistematika ini adalah sebuah kegagalan dialektik dalam bermusik? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Seperti yang dikemukakan komponis Slamet Abdul Sjukur dalam titik ekstrim, notasi itu tidak penting bisa jadi ada benarnya ketika tidak serta-merta hanya kita lihat dari permukaan. Nyatanya kegagalan pendidikan musik kita untuk mengajarkan sistem bahasa musik yang dapat memudahkan lalu lintas budaya dan kolaborasi seni adalah sebuah fenomena yang harus kita terima beserta dengan banyak konsekuensi logis akan terjadinya hal tersebut: lambatnya kolaborasi kita, terbengkalainya talenta-talenta, hingga rendahnya apresiasi kita akan budaya tulis kita, termasuk seni tertulis kita.

Namun dengan segala keterbatasan itu, aspek musik dan rasa adalah hal yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Tidak mampunya seseorang untuk membaca not balok, bukan berarti tidak mampunya orang tersebut untuk menikmati dan mengapresiasi musik yang dihasilkan oleh not balok tersebut. Sedemikian juga ketidakmampuan seseorang dalam membaca ataupun menulis not balok, bukan serta merta mematikan kreativitasnya dalam menciptakan karya musik.

Pun apabila kita melihat lebih dalam, bahkan dalam Kursus Kilat Komposisi Slamet Abdul Sjukur walaupun ia melepaskan atribut notasi balok, ia tetap menekankan pentingnya aspek pencatatan (bisa dibaca: notasi) dari hasil musik yang sudah dirasakan dan disusun dalam pikiran. Memang tidak serta merta belajar, dimanakah not concert pitch F# dalam kunci treble transpos Bb berada. Namun lebih menekankan pada elemen bebunyian rudimenter seperti ritme, dan tinggi rendah suara dan bagaimana menuliskannya dalam simbol-simbol yang dimengerti oleh sang penggubah dan mungkin sembari jalan oleh orang-orang di sekitarnya.

partitur musik modern oleh Stockhausen

Apabila kita melihat secara holistik, kursus komposisi dari Slamet Abdul Sjukur (SAS) mencoba menjawab setidaknya dua hal, proses kreatif dan pengamatan fenomena di sekitar, hingga apresiasi pada metode notasi, baik notasi balok standar maupun bukan, terlebih SAS adalah seorang yang menciptakan musik garda depan yang tidak lazim dan sering tidak mudah dikandangkan dalam notasi-notasi balok standar. Tapi di lain pihak, banyak peserta pun belajar untuk menghargai proses kreatif dan bagaimana notasi yang dibuat selama ini termasuk ampuhnya notasi balok yang jadi standar mampu menjadi wadah banyak jenis musik.

Dari berbagai fenomena yang ada, kita juga melihat bagaimana teknologi rekaman mengikis secara perlahan peranan notasi dalam musik. Banyak peristiwa dan praktek sehari-hari juga menandakan kembalinya tradisi lisan dalam musik, lewat rekaman-rekaman. Dan banyak kita di Indonesia yang belum sepenuhnya pernah merasakan tradisi musik tertulis, yang ada semakin linglung dan hilang arah akan perlunya notasi. Namun yang pasti, tanpa notasi tertulis, tidak akan ada Hildegaard von Bingen, J.S Bach, L.v Beethoven maupun The Beatles.

Ya, kita kembali ke pertanyaan semula, “Seberapa Pentingkah Notasi Musik?” Jawabannya sederhana, perlu untuk dipelajari apabila kita ingin mampu berkomunikasi dengan bahasa musik standar internasional. Dan apabila belum bisa, adalah tugas moral mereka yang sudah bisa untuk mengajari yang belum fasih, itulah peranan pendidik. Not balok pun punya keterbatasan, sebagaimana huruf latin tidak selalu mampu menggambarkan nuansa fonetik bahasa Prancis. Sebagai informasi bahasa Prancis tetap dipakai 550 juta orang di dunia dengan segala keterbatasan medium tulisnya.

Di sisi lain, apakah musik tidak bisa diciptakan oleh mereka yang tidak mengerti not balok? Ataukah tidak bisa dimainkan oleh ibu-ibu PKK di pedalaman Jawa yang tidak membaca toge-toge di atas kertas? Tidak bisa dinikmati oleh Bapak-Bapak nelayan di Sulawesi yang tiap kebaktian Minggu secara intuitif bernyanyi close harmony tanpa tahu jarak interval tiga dan lima serta oktaf? Ataupun musik tidak boleh diapresiasi oleh abang penjaja bakso yang menikmati keroncongan malam Senin tapi tidak mengerti di mana kunci F cello dimainkan?

Satu yang kita tahu pasti sebagai insan, musik tidak berbatas. Pun setiap cara kita untuk membatasi musik dalam ikatan kelas dan stereotipe akan selalu gagal. Pun sebagaimana kita menyikapi segala peristiwa, ada baiknya kita menyikapi musik dan notasinya secara multi dimensi.

Ada kalanya kebijakan tidak datang dari bagaimana ia mengerti abjad dan membaca, tapi bagaimana ia menyikapi hidup seperti layaknya Nabi Muhammad S.A.W. Dan karena kemampuan seni kita tidak datang bak wahyu, mampu membaca notasi adalah keterampilan yang penting bagi hampir semua kita. Salam….

About mikebm (1339 Articles)
An arts journalist, a conductor, an educator, a young arts manager whose passion drove him to leave a multinational IT cooperation to study Arts Administration and Cultural Policy in London and went back to Indonesia to build the scene there.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.