Kabar Terkini

Ke Mana Komposisi Indonesia? – Refleksi Call for Scores UI


Beberapa waktu lalu, Orkes Simfoni Universitas Indonesia Mahawaditra baru saja mengadakan sebuah inisiatif Call for Scores dengan penulis bertindak sebagai salah satu dewan juri. Setelah melihat pengumpulan dan bahkan merefleksikan sedikit melalui apa yang disaksikan sehari-hari sebagai pengajar, penulis memberanikan diri untuk sekedar bertanya, “Ke manakah gerak dunia komposisi Indonesia?”

Upaya ini bukanlah sebuah upaya untuk melakukan generalisasi atas dunia komposisi di Indonesia, namun sebuah refleksi akan apa penulis hadapi sedikitnya menggambarkan salah satu faset dalam dunia komposisi musik di Indonesia, terutama untuk dunia orkestra simfoni yang saat ini penulis geluti.

Jujur saja, melihat gambaran umum saat ini, sulit sekali untuk menyimpulkan kemana dunia komposisi Indonesia akan mengarah. Dalam beberapa kepercayaan umum, terlihat adanya optimisme bahwa dunia penciptaan musik untuk orkestra Indonesia sedang berkembang dengan pesat. Kebutuhan akan musik dengan iringina orkestra simfoni nampaknya menjadi pilihan yang menarik untuk diambil oleh beberapa pengguna musik.

Dunia penciptaan yang berbasis pengguna, yakni institusi yang menggunakan musik sebagai bagian dari media promosi dan komunikasi mereka saat ini memabng telah berkembang dengan subur. Bebunyian musik orkestra bukanlah hal aneh yang ditemui dalam musik film, dunia iklan dan banyak lainnya. Karenanya, pesanan untuk kebutuhan funsional ini pun tergolong tinggi dan cukup menonjol dan memakan banyak waktu dan tenaga kerja.

Lain daripada itu, beberapa institusi orkestra pun telah turut berperan untuk mendorong penciptaan karya baru. Beberapa orkestra Indonesia, seperti Jakarta Concert Orchestra, Jakarta City Philharmonic dan Bandung Philharmonic secara spesifik melakukan pemesanan karya orkestra baru untuk dimainkan dalam berbagai konser mereka.

Akan tetapi dengan natur orkestra ini yang mengandalkan animo dan jumlah penonton sebagai indikator keberhasilan operasi mereka, orkestra-orkestra ini lebih memilih untuk memainkan karya baru yang terdengar familiar dan nyaman di telinga penonton karena mungkin keputusan estetis maupun kurangnya keberanian untuk mengambil resiko. Alhasil di tangan institusi ini, memang banyak karya baru terlahir. Namun dari segi idiom, belum banyak terlihat keberanian dan eksplorasi yang menonjol untuk menampilkan karya yang sepenuhnya inovatif. Alhasil, nampak seperti ada sebuah kesepakatan bersama yang semu yang mencoba mempertahankan sebuah ideologi musik tertentu yang dapat ditampilkan ke publik.

Karena mosi inilah, banyak seniman musik inovatif akhirnya terasing dari dunia praktik orkestra dan penciptaan karya baru simfonik. Tidak sedikit pula yang mempertanyakan keputusan artistik yang diambil oleh banyak direktur artistik orkestra dan kelompok musik di ibukota. Ada beberapa yang patah arang dan hilang harapan bahwa mereka dapat menciptakan karya yang dapat dimainkan di Indonesia. Beberapa dari mereka justru merasa lebih dihargai di luar negeri dibanding di negeri sendiri.

Di sisi lain, pendidikan musik di Indonesia juga tidak tentu mampu menciptakan paradigma penciptaan yang eksploratif. Dengan maraknya mosi bahwa pendidikan tinggi adalah pencipta tenaga kerja, tidak sedikit perguruan tinggi musik menciptakan lulusan penciptaan musik untuk menjadi sekedar penggerak roda industri musik tanpa mendidik mereka sebagai inovator tulen yang bergerak dengan bebas. Pendidikan tinggi dengan jurusan penciptaan musik kekurangan pribadi yang berani mendekonstruksi pola pikir penciptaannya dan lebih memilih zona nyaman dan ortodoksi dalam menggubah musik, terlebih musik orkestra.

Komposisi musik memang dunia yang luas dan tidak dapat hanya berpegang pada satu poros saja. Tapi hilangnya satu poros yang menjadi kunci keragaman justru akan memperlemah posisi komposisi musik Indonesia. Di satu sisi kita tidak bisa hanya sekedar latah mengglobal tanpa berpijak pada kearifan lokal, tapi di sisi lain terbekap dalam satu perspektif menggubah musik juga haruslah dipertanyakan. Selain itu, juga ada kelompok yang menggarap kerifan lokal hanya sebatas percampuran dan tempelan di permukaan tanpa internalisasi yang kuat dari segi konsep, penghayatan dan keilmuan.

Beberapa komponis senior dan muda sedang berupaya menghidupkan kembali Asosiasi Komponis Indonesia yang telah lama tertidur. Pergerakan mereka memang masih awal mula dan tentu ingin sekali melihat bagaimana asosiasi ini di masa mendatang dapat menghubungkan lebih banyak pelaku musik dan pencipta. Meski demikian menjadi tanya yang cukup besar, dalam dunia komposisi yang tidak terlampau banyak, individualistis dengan pangsa pasar apresiatif yang tidak terlampau lebar, tentunya inisiatif seperti ini menjadi ranah yang berpotensi rawan konflik.

Melihat mayoritas dari 19 karya musik Call for Scores Orkes Simfoni Universitas Indonesia Mahawaditra yang cukup banyak, masih kukuh berpegang pada teknik komposisi global bertanya tentang berusia 180 tahun lalu, tak pelak penulis bertanya kemanakah gagasan baru para komponis muda dalam menggarap karya dengan inovatif. Ada pula peserta yang tidak memahami kaidah penulisan musik sehingga layak untuk ditampilkan. Terkadang terbesit harap bahwa hal ini adalah karena keterbatasan jangkauan komunikasi jejaring Orkes UI, dibandingkan dengan pertanda mandeknya dunia komposisi Indonesia.

About mikebm (1339 Articles)
An arts journalist, a conductor, an educator, a young arts manager whose passion drove him to leave a multinational IT cooperation to study Arts Administration and Cultural Policy in London and went back to Indonesia to build the scene there.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.