Kabar Terkini

Menyelami Musik Bersama Paduan Suara Kamar Munich


Paduan suara profesional adalah kelompok yang jarang kita saksikan di Indonesia. Satu hal dikarenakan, Indonesia tidak memiliki kelompok paduan suara profesional, di lain sisi kita pun jarang kedatangan kelompok paduan suara profesional dari dalam negeri. Ya, mungkin beberapa dari kita bisa terkejut, tapi walaupun paduan suara berkualitas membanjir di Indonesia, kita belum memiliki paduan suara konser berbasis profesional yang berdedikasi untuk mengembangkan musik seni di tanah air.

Pun kali ini Goethe Institut selaku penyelenggara yang rutin mendatangkan paduan suara-paduan suara profesional selama beberapa tahun terakhir boleh mendapat acungan jempol dengan mendatangkan Kammerchor München (Paduan Suara Kamar München) bersama dengan 17 penyanyi mereka.

Dipimpin oleh dirigen Phillipp Amelung, paduan suara yang beranggotakan penyanyi-penyanyi professional yang juga berpengalaman di dunia paduan suara profesional kondang Jerman sungguh mengundang decak kagum. Tampil dengan jumlah yang terbatas namun paduan suara ini mampu menggerakkan hati penonton yang notabene banyak merupakan penggiat-penggiat dan pecinta musik paduan suara di Ibukota.

Membuka konser dengan babak pertama yang cenderung ortodoks, Kammerchor München dengan setia membawakan repertoar musica sacra (musik rohani) paduan suara Jerman. Membawakan tiga nomor motet “Die mit Tränen säen” karya Schutz, “Jauchzet dem Herrn” karya Mendelssohn, “Aus der Tiefe rufe ich, Herr, zu dir” karya Kaminski, diapit dengan 2 motet karya Bach, “Lobet den Herrn” dan “Singet dem Herrn”, paduan suara ini mampu mengundang perhatian penonton untuk masuk mencermati dan merasakan makna teksnya dalam musik, sekalipun tentunya tidak semua penonton mengerti lagu-lagu berbahasa Jerman tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa, paduan suara ini mampu mengatasi penghalang bahasa dan menjadi representasi musik, bahasa universal yang tersampaikan dengan gamblang dan indah. Perlu dicatat bahwa, para solois tampil dengan semangat ensembel yang padu namun tetap bersinar sebagai solois dengan suara penuh dan eksak tanpa terkesan berat dan berlebihan. Walaupun mungkin Amelung bisa lebih memberi perhatian lebih pada peran motif (tema yang berulang pada banyak suara) kontrapuntal pada “Singet dem Herrn” namun sungguh Aula Simfonia Jakarta malam itu menjadi saksi kepiawaian paduan suara ini dalam mengolah nada dan kata. Semua disampaikan sesuai dengan porsinya, terlebih dengan tingkat kesulitan eksekusi melismatik dan ornamentasi yang begitu menantang pada karya ini.

Di babak kedua, Phillipp Amelung bersama ketujuh belas vokalis ini kembali menjelajah Jerman dengan karya-karya paduan suara berbasis lagu rakyat dan madrigal. Dua karya Hassler, “O la, o che bon echo” karya Orlando di Lasso yang dibawakan dengan hidup menirukan bunyi gema di antara paduan suara dan solois yang saling menyahut di belakang panggung sungguh menarik bagi penonton. Selain itu, kejernihan intonasi yang cermat juga menjadi nilai plus bagi paduan suara ini, sehingga nada dan harmoni sungguh menjadi media ekspresi yang seakan tidak berbatas dalam seluruh konser karya akapela ini. Karya Brahms “All meine Herzgedanken” menjadi wadah berekspresi yang memeluk hangat penonton malam itu. Pun anggota-anggota paduan suara wanita dan pria bergantian membawakan Poos “Heideröslein” dan “Die Minnesänger” karya Schumann.

Selain itu, paduan suara ini juga tidak lupa menjelajah karya musik paduan suara modern dalam ”Lang is der Zei” karya Schanderl yang berkembang atas dasar motif ostinato pada suara bas yang sungguh menggambarkan kerinduan dan penantian yang panjang. Ajaib bahwa paduan suara ini mampu membawakan karya yang penuh dengan harmoni-harmoni baru yang cukup rumit namun terbungkus dengan indah sehingga terkesan sederhana dan mudah dicerna. Pun sebagai penutup paduan suara kamar ini, membawa penonton malam itu untuk menjelajah sejarah musik lewat sebuah tema chorale 5 bait yang dikemas dalam gubahan yang  berbeda oleh 3 komponis berbeda zaman, Isaac (abad XVI), Bach (abad XVIII) dan Distler (abad XX) yang tiap-tiap membawa ciri khas musik di zamannya masing-masing yang mengundang senyum pendengarnya.

Sungguh konser malam itu walaupun terkesan formal namun sungguh menarik. Pun akhirnya sorak di antara penonton yang memadati Aula Simfonia tidak bisa dibendung lagi. Paduan suara yang dipimpin secara apik oleh Amelung yang juga adalah direktur musik Universitas Tübingen ini pun akhirnya kembali membawakan 3 buah encore untuk dibawa pulang oleh penonton yang tidak kunjung puas bersorak dan bertepuk tangan untuk paduan suara ini. Salah satu encore lagu daerah Indonesia, ”Soleram” mendapat sambutan yang begitu hangat dari penonton. Yang pasti senyum tersungging di bibir penonton malam itu, semua pulang dengan perasaan puas dan segar. Sungguh konser yang berkualitas untuk menutup Selasa malam itu.

~ Kammerchor München akan tampil kembali kali ini di Univ. Maranatha Bandung 16 Mei, 19:00 – Gratis

About mikebm (1339 Articles)
An arts journalist, a conductor, an educator, a young arts manager whose passion drove him to leave a multinational IT cooperation to study Arts Administration and Cultural Policy in London and went back to Indonesia to build the scene there.

1 Comment on Menyelami Musik Bersama Paduan Suara Kamar Munich

  1. Siffieldh // 15 Mei 2013 pukul 4:23 am //

    Wah paduan suara yg hebat,
    suara khas dari segala suku di Indonesia itu membuat keanekaragaman suara di Indonesia. Itu menjadi nilai plus tersendiri dan harus sangat dikembangkan dan dimajukan. Gbu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.